Dalam jangka waktu beberapa tahun terakhir ini, Asia tidak habis-habisnya turut memberikan kontribusi kepada perfilman dunia. Di antara kontribusi tersebut banyak ditemukan karya-karya kurang memuaskan, namun terdapat pula yang sungguh mengesankan. Bong Joon-ho, sineas asal Korea Selatan yang mana kontribusinya kepada perfilman dunia dapat dikategorikan ke dalam kategori yang kedua tersebut. Karya-karya besarnya macam Memories of Murder dan box-office Korea sepanjang masa, The Host tak jarang dianggap sebagai batu loncatan bagi industri perfilman negeri ginseng tersebut pada khususnya dan Asia pada umumnya untuk menembus garis batas kultural antara timur dan barat. At this rate, pantaslah Joon-ho dielu-elukan sebagai salah satu pencetus gerakan new wave cinema di Korea Selatan sana di samping satu lagi nama besar; Park Chan-wook.
Seperti yang saya nyatakan sebelumnya, film-film Asia – Korea Selatan pada umumnya, memiliki tingkatan kualitas yang beragam (layaknya film pada umumnya). Jika barusan saya menganggap bahwa karya-karya lampau Bong Joon-ho masuk ke dalam ketegori “mengesankan”, maka untuk karyanya yang teranyar ini, Snowpiercer, saya harus menemukan kategori kualitas baru. Snowpiercer adalah sebuah film yang terkesan begitu menghibur dalam penyajiannya, sehingga tidak heran banyak orang menyangka bahwa Snowpiercer hanyalah sekedar “peramai” suasana pasca hiruk-pikuk sinema musim panas. Snowpiercer adalah film kimchi popcorn bertema berat. Snowpiercer adalah avant garde cinema. Snowpiercer adalah… Silakan kamu temukan sendiri klaim-klaim sejenis.
In short, there’s more to Snowpiercer than meets the eye.
Kisah sci-fi pasca kiamat ini diangkat dari serial novel grafis Prancis yang punya judul asli Le Transperceneige. Pada tahun 2031, kehidupan di Bumi hampir seluruhnya punah akibat jaman es baru yang dipicu oleh usaha pemerintah untuk menghentikan pemanasan global. Mereka yang selamat dari jaman es ini berusaha untuk bertahan hidup di dalam lokomotif super-panjang nan canggih bernamaSnowpiercer. Namun, kiamat dan kepunahan yang sudah ada di depan mata tidak menghentikan hierarki sosial untuk memecahbelah manusia-manusia yang selamat ini menjadi dua kelompok besar: kaya dan miskin. Mereka yang kaya hidup mewah di bagian depan kereta, sedangkan mereka yang miskin hidup sengsara di bagian ekor kereta. Setelah 17 tahun lamanya diperlakukan dengan keji dan tidak manusiawi, salah satu penumpang di ekor Snowpiercer, Curtis Everett (Chris Evans) merencanakan sebuah revolusi bersama sahabatnya, Edgar (Jamie Bell) dan seorang tua-bijak yang dianggap sebagai father-figure buat kelompok ekor, Gilliam (John Hurt), untuk menjatuhkan rezim tiran pimpinan Wilford (Ed Harris) yang telah membuat 17 tahun hidup mereka di Snowpiercer begitu sengsara.
Berdasarkan premis di atas, Bong Joon-ho terlihat sekali mengangkat tema yang luar biasa dewasa dan sekilas, terkesan politis. Tapi toh, masalah segregasi sosial telah lama menjadi subjek utama beragam film-film fiksi ilmiah lain, misalnya seperti sci-fi bikinan Neill Blomkamp, Elysium baru-baru ini. Jadi, apa yang membuat Snowpiercer begitu menonjol di kumpulan jerami tersebut?
First off, Snowpiercer adalah film yang sangat kontemporer baik secara aestetis maupun tematis. Dibungkus dengan mantel Hollywood yang ‘nyaman’. Ada all-star cast dari dunia barat, ledakan, special effects dan hal-hal lain yang jelas punya aroma kental Hollywood. Apa yang menurut saya mengesankan di sini adalah bagaimana usaha Bong Joon-ho untuk tetap menjaga orisinalitas di debut internasionalnya ini kendati pengaruh-pengaruh komersil yang begitu menggoda. Banyak sineas berbakat non-Hollywood yang begitu ikut ke dalam politik Hollywood terbuai akan janji manis para eksekutif besar bahwa karyanya akan dikenal oleh seluruh penjuru dunia. Apa gunanya popularitas jika popularitas tersebut tidak didasarkan hal yang berarti? Seolah dipacu oleh pertanyaan tersebut, Bong Joon-ho menggunakan kesempatan membuat sebuah film kaliber internasional untuk tetap menjaga orisinalitas dan kualitas yang telah lama menjadi trademark sineas asal Korea Selatan ini.
Mantel Hollywood yang membungkus Snowpiercer menjadi sarana bagi Joon-ho untuk menyajikan hidangan sinematis yang berskala besar. Perlu diingat bahwa selain berperan menjadi sutradaranya, Bong Joon-ho juga mengemban tugas screenwriter. Pengaruh-pengaruh barat yang terdapat diSnowpiercer lebih terasa sebagai sarana penyampaian pesan Joon-ho dibandingkan sebuah gimmickmarketing yang selama ini telah menjadi stereotipe tersendiri bagi film-film bersutradara seorang asing yang berada di bawah naungan Hollywood. Deretan pemain Snowpiercer yang menggaet nama-nama familiar di dunia perfilman barat ditangani dengan begitu ahli. Semua tokoh utama yang mengisi kereta Snowpiercer disediakan motif, tujuan dan dimensi yang pas. Chris Evans, aktor Hollywood yang sedang naik daun belakangan ini berkat perannya sebagai Captain America, membebaskan dirinya dari peran-peran ‘good guys’ yang selama ini telah menjadi ciri khas aktor yang memang berparas superhero ini. Perannya di sini, yang pada awalnya terlihat sebagai action hero konvensional, diberikan backstory yang sesuai oleh Bong-Joon ho. Akting mengagumkan Evans mencerminkan seorang pemimpin yang menderita – yang merasa bahwa ia tidak pantas untuk dibebankan tanggung jawab besar. Peran-peran yang dimainkan oleh Jamie Bell dan John Hurt pun bukan sekedar ‘familiar Hollywood names’ yang hanya berfungsi sebagai umpan bagi audiens yang belum familiar dengan karya Bong-Joon ho untuk segera menonton Snowpiercer. Masing-masing memiliki pos-pos sendiri di dalam plot yang dengan mulus dibuat oleh Bong Joon-ho. Namun, ‘familiar Hollywood name’ yang paling memorable di sini adalah Tilda Swinton yang berperan sebagai Mason. Swinton mengimbangimake-up berat yang dipakaikan padanya dengan performa meyegarkan dan… Sama sekali bukan tipikal Swinton yang angelic. Perannya sebagai Mason adalah peran antagonis terbaik belakangan ini. Swinton berhasil memahat karakter yang keji dan pragmatis dengan sempurna.
Walaupun dibuka oleh title sequence yang terkesan sangat Hollywood, begitu diperkenalkan ke dalam dunia kecil diatas kereta Snowpiercer, saya sungguh merasa bahwa Bong Joon-ho tetap memegang kendali penuh sebagai masinis film Snowpiercer. Setiap frame yang disajikan dari awal sampai akhir film seolah terukir tulisan ‘property of Bong Joon-ho‘. Ciri khas yang menjadi trademark karya-karya Bong Joon-ho selama ini tetap dilestarikan di dalam debut internasionalnya ini: color pallette yang kusam dan kontras, quick cutting yang ditemani oleh occasional zooming serta panning dan… dark humor. Iya, the most defining element yang menjadi organ tubuh tersendiri bagi karya-karya Bong Joon-ho kembali tampil di Snowpiercer. Hebatnya, walaupun terasa serius dan muram, komedi gelap yang disajikan oleh Joon-ho di dalam karya terbarunya ini tidak pernah terkesan out of place. Untuk departemen ini, tidak berlebihan rasanya jika saya anggap Song Kang-ho dan Go Ah-sung sebagai dua aktor berjasa. Peran mereka sebagai duo bapak-anak menghadirkan beragam variasi comic relief yang,thanks to their performances, tetap sesuai dengan tone dan tema Snowpiercer.
Score yang diusung oleh Marco Beltrami juga adalah salah satu highlight Snowpiercer. Baik adegan aksi yang mendebarkan maupun rangkaian dialog panjang yang membutuhkan konsentrasi lebih didukung dengan sangat mengesankan oleh karya Beltrami. Memang tidak seorisinil karyanya di The Wolverine, namun toh, it does the job untuk memberikan aura tersediri buat Snowpiercer yang dingin.
Then there’s the thematic undertone. Seperti yang saya nyatakan sebelumnya, Snowpiercer adalah sinema avant-garde yang dibalut oleh set-piece action megah meskipun setnya sendiri terlihat sempit. Tema Snowpiercer yang mengangkat isu segregasi sosial, tirani, dan totalitarianisme diberikan jalur tanpa hambatan oleh Joon-ho. Tema tersebut lebih terasa seperti kepedulian Joon-ho terhadap masalah humanis yang telah lama menjadi belenggu umat manusia dibandingkan eksposisi preachy. Gerbong demi gerbong Snowpiercer adalah sebuah refleksi relevan terhadap masalah sosial jaman ini. Dan seolah menyentil penonton, Bong Joon-ho juga ingin memperlihatkan apa jadinya jika umat manusia hidup di dalam tempat sesempit kereta Snowpiercer. Tapi, hey, bukankah kita sedang menjalani kehidupan macam itu hari ini? Globalisasi telah mengubah dunia menjadi tempat tanpa batas. Segala hal yang terdapat di dunia ini dapat dengan mudah kita cari informasinya melalui teknologi yang telah berkembang dengan pesat. Privasi menjadi harga yang harus dibayar demi kenyamanan ‘borderless world’ yang diiming-imingkan globalisasi. Tidak jarang kita merasa sulit untuk mencari waktu menyendiri di hadapan pengaruh globalisasi. Seberapa sering kita bilang bahwa “dunia itu sempit”?